Rabu, 12 Januari 2011

Ekologi Serangga


Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda. Serangga ditemukan di hampir semua lingkungan kecuali di lautan. Kajian mengenai peri kehidupan serangga disebut entomologi.
Lebih dari 800.000 spesies insekta sudah ditemukan. Terdapat 5.000 spesies bangsa capung (Odonata), 20.000 spesies bangsa belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), 120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik (Hemiptera), 360.000 spesies bangsa kumbang (Coleoptera), dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera).

Anggota Arachnida meliputi kalajengking, laba-laba, tungau atau caplak. Kebanyakan hewan ini bersifat parasit yang merugikan manusia, hewan dan tumbuhan. Arachnida bersifat karnivora sekaligus predator. Tempat hidupnya adalah di darat.
Ciri-ciri Arachnida
Ø  Tubuh terbagi atas kepala-dada (sefalotoraks) dan perut yang dapat dibedakan dengan jelas, kecuali Acarina.
Ø  Pada bagian kepala-dada tidak terdapat antena, tetapi mempunyai beberapa pasang mata tunggal, mulut, kelisera dan pedipalpus
Ø  Mempunyai 4 pasang kaki pada kepala-dada.
Ø  Alat ekskresi dilengkapi dengan saluran malphigi dan kelenjar coxal.
Ø  Alat pernafasan berupa trakea, paru-paru buku atau insang buku.
Ø  Alat kelamin jantan dan betina terpisah, lubang kelamin terbuka pada bagian anterior abdomen, pembuahan internal (di dalam).
Ø  Sistem saraf tangga tali dengan ganglion dorsal (otak) dan tali saraf ventral dengan pasangan-pasangan ganglia.
Ø  Alat mulut dan alat pencernaan makanan terutama disesuaikan untuk mengisap serta memiliki kelenjar racun.
Ø  Habitat (tempat hidup) di darat, pada umumnya tetapi ada pula sebagai parasit.

Selasa, 11 Januari 2011

KEADAAN SATWA PENYU HIJAU (GREEN TURTLE) DI KEPULAUAN DERAWAN

1. Kondisi umum Kepulauan Derawan
Kepulauan Derawan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Secara geografis, Kepulauan Derawan terletak di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau, yang terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Samama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, dan Pulau Maratua, serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan Tababinga. Di Kepulauan Derawan terdapat beberapa ekosistem pesisir dan pulau kecil yang sangat penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Selain itu, banyak spesies yang dilindungi berada di Kepulauan Derawan seperti kima (Tridacna spp.), ketam kelapa (Birgus latro), duyung (Dugong dugon), dan merupakan rumah terbesar untuk Penyu hijau  (Chelonia mydas) di Asia Tenggara. Kepulauan ini merupakan perlintasan dari tidak kurang dari 10 jenis mamalia laut dari jenis paus dan lumba-lumba (Wiryawan, 2005).
2. Keberadaan Penyu hijau  di Kepulauan Derawan
Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni; data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an dari Lindsay and Watson (1995), data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al (1997), dan data penyu tahun 2002-2003 dari WWF-Indonesi.
            Penurunan jumlah Penyu hijau  cukup tinggi di gugus kepulauan Derawan. Dari data tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) diketahui bahwa penurunan populasi Penyu hijau  di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan . Dari data tersebut juga diketahui bahwa di Kepulauan Derawan sebaran Penyu hijau  tidak merata, jumlah penyu tertinggi berada di Pulau Sangalaki. 

3. Penyu hijau
·         - Deskripsi dan klasifikasi Penyu hijau  (Chelonia mydas L).
Penyu hijau  merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai Penyu hijau  bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini kadang-kadang pula disebut penyu daging (Anonim, 2010).
   Klasifikasi Penyu hijau  menurut Linnaeus  adalah :
Kingdom       : Animalia
Filum             : Chordata
Kelas             : Reptilia
Ordo             : Testudinata
Famili            : Cheloniidae
Genus            : Chelonia
Spesies          : Chelonia mydas L. (Tanjung, 2001).


·         - Morfologi Penyu hijau  (Chelonia mydas L.)
Sesuai dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Ukuran penyu dewasa ini bisa mencapai kurang lebih sekitar 250 cm, meskipun rata-rata sekarang adalah 100 cm. Penyu hijau  dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang.   Berat Penyu hijau  dapat  mencapai  400 kg,  namun di  Asia Tenggara yang  tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini.  Penyu hijau  di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur panas.  Anak-anak Penyu hijau  (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau  yang berada  di   sekitar  Teluk California  hanya  memakan  alga merah.  Penyu hijau  akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali (Nuitja, 1992).



Perisai atau karapasnya berbentuk hati dengan tepi rata, jumlah keping kostal 4 pasang, berwarna hijau cokelat dengan bercak tua sampai hitam. Keping kostal ukuran lebarnya hampir dua kali di banding dengan lebar keping vertebral. Keping marginalnya relatif sempit. Kepalanya memiliki sepasang sisik prefrontal yang lebar dan mempunyai tepi yang berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi dengan sisik yang relatif berukuran sama, sehingga jari-jarinya tidak terlihat jelas (Ali, 2004).
Ciri morfologi Penyu hijau  menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972) dalam (Tanjung dkk, 2001) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki depan yang besar.

 ·         - Penyebaran  dan Habitat Penyu hijau  (Chelonia mydas L.)
Sebaran Penyu hijau  terdapat di Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut Mediterania. Habitat Penyu hijau  ini hidup di perairan tropis dan sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau  juga diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas.  Kemampuan migrasi Penyu hijau  pada beberapa populasi dapat mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau  hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau  memiliki siklus kehidupan yang panjang, namun tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004).
·         - Tingkah Laku dan Kegiatan  Bertelur Penyu hijau  (Chelonia mydas L.)
   Perilaku bertelur Penyu hijau  umumnya sama dengan penyu-penyu lainnya. Penyu hijau  menjadi primadona penangkar penyu, karena saat bertelurnya selalu tepat waktu, yaitu setiap 15 hari sekali, dengan melakukan 4 sampai 6 kali pendaratan untuk bertelur di waktu malam hari. Selain itu, Penyu hijau  merupakan satwa yang unik, karena secara insting, merekan akan hidup dan kembali bertelur ke tempat dimana mereka ditetaskan. Sama halnya dengan penyu-penyu lain, Penyu hijau  sangat peka terhadap getaran, kebisingan, lampu, dan berbagai aktivitas yang ditimbulkan oleh manusia. Gangguan-gangguan tersebut kerap kali menghantui penyu yang hendak bertelur (Ali, 2004).
Betina Penyu hijau  berukuran besar dalam sekali bertelur dapat menghasilkan sampai 200 butir telur, sedangkan Penyu hijau  yang berukuran sedang menghasilkan sekitar 60 butir dalam satu kali mendarat. Di perkirakan perkawinan terjadi setelah penyu betina bertelur dan kembali ke daerah habitat perkawinan (Ali, 2004).
Telur Penyu hijau  ukuran diameternya sekitar 46 mm. Bentuk telur dari Penyu hijau  ini berbentuk agak bulat, lembut dan cukup lentur. Tukik merupakan anak penyu yang baru menetas, biasanya berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Tukik Penyu hijau  bersifat omnivora, makanannya adalah ikan kecil. Saat menginjak usia dewasa, jenis Penyu hijau  ini beralih menjadi hewan herbivora, makanannya berupa alga, rumput laut, ganggang dan daun bakau. Tukik Penyu hijau  sangat peka terhadap suhu lingkungan. Tukik dapat mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) jika tidak masuk ke dalam laut beberapa jam setelah menetas dan berhasil menembus permukaan tanah, utamanya jika temperatur udara cukup tinggi. Tukik dapat mati kepanasan pada suhu 37o C. perlu kita ketahui bahwa dari beberapa pengamatan para ahli, dari 1000 butir telur yang berhasil menetas menjadi tukik, hanya satu diantaranya yang berhasil bertahan hidup sampai dewasa (Ali, 2004).
·         - Ancaman Populasi dan Kepunahan Penyu hijau  (Chelonia mydas L.)
Penyebab penurunan populasi secara drastis yang dibenarkan oleh bahwa eksploitasi Penyu hijau  tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan Penyu hijau . Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi. Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya,  Penyu hijau  paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan Penyu hijau  yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (Anonim, 2010).
Indikasi kegagalan perlindungan Penyu hijau  ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi Penyu hijau  di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan Penyu hijau  semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi Penyu hijau . Untuk penyelamatan Penyu hijau  dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan Penyu hijau  di masa mendatang. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:

a) Aspek ekologi
−   Hilangnya kemampuan reproduksi populasi
Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies Penyu hijau .
−  Kerusakan habitat
Penyu hijau  adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding Penyu hijau  yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi Penyu hijau  yang berakibat ancaman kepunahan.
b) Aspek sosial
Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi Penyu hijau  di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan Penyu hijau . Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat.
c) Aspek ekonomi
Penyu hijau  merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis Penyu hijau  tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi Penyu hijau  yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan Penyu hijau  ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.
d) Aspek budaya
Umumnya eksploitasi Penyu hijau  sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan Penyu hijau  di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat (Anonim, 2010).

DAFTAR REFERENSI:
Anonim. 2010. Rancangan Penanggulangan Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas).http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/.pdf. Diakses pada tanggal 11 November 2010, pukul 16.30 WITA.
Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Selatan Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang Pelestarian Penyu Hijau : Tasikmalaya.
Nuitja, I.N.S.,  1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor (IPB): Bogor.
Tanjung, Yonatan, Suherman, Misnawati, Rostina. 2001. Studi Tingkah Laku Bertelur dan Keberhasilan Penetasan Secara Alamiah di Pulau Sangalaki Kecamatan Derawan Kabupaten Berau. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul: Samarinda.
Wiryawan, B., M.Khazali, & M.Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau,Kalimantan Timur, Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau Mitra Pesisir/CRMP II USAID, WWF dan TNC. Jakarta.

Keanekaragaman Satwa Liar di Papua dan Permasalahannya


Negara “megadiversity” merupakan sebutan Indonesia saat ini.  Dalam hal keanekaragaman hayati ini Indonesia memiliki 10% tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibi, 17%  burung, 25% ikan dan 15% serangga (Bappenas, 1993).  Dalam dunia satwa Indonesia juga mempunyai tingkat endemisitas yang cukup istimewa, sekitar 500-600 jenis mamalia besar, 36% endemik; 35 jenis primata, 25% endemik; 78 jenis paruh bengkok, 40% endemik; dan dari 212 jenis kupu-kupu, 44% endemik.  Keanekaragaman hayati Indonesia inilah yang saat ini hampir menyamai dengan Brazil dan Kolombia yang terkenal dengan keanekaragaman hayatinya.
Pada dasarnya keanekaragaman hayati yang ada dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein, hiasan dan lain sebagainya.  Manfaat lain yang tak kalah penting adalah sebagai penyangga kehidupan.  Satwa liar merupakan salah satu sumberdaya alam hayati yang dimiliki memiliki andil besar dalam kelangsungan alam ini.  Khusus untuk satwa, jumlah jenis beberapa satwa di beberapa negara dunia, di Indonesia masih cukup tinggi.  Dari jumlah jenis mamalia, Indonesia menempati urutan pertama sedangkan berturut-turut jenis burung dan reptilia menempati urutan empat  dan tiga.
Hal ini tentunya akan lebih banyak lagi ditemukan jenis baru dengan adanya penelitia-penelitian dengan melihat peluang-peluang yang ada, misalnya di kawasan timur Indonesia, khususnya di Papua  yang belum banyak dilakukan penelitian keanekargaman hayatinya.
Papua dengan  luas sekitar 416.000 km2 merupakan daerah keanekaragaman hayati terkaya di kawasan Pasifik tropis.  Hutan, terumbu karang dan tipe-tipe ekosistem mengandung kakayaan spesies yang besar.  Menurut perkiraan para ahli di Irian Jaya (Papua) memiliki sekurang-kurangnya 20-25.000 jenis tumbuhan pembuluh, 164 jenis mamalia, 329 jenis reptilia dan amphibi, 650 jenis burung, 250 jenis ika air tawar dan 1200 jenis ikan laut, diperkirakan 150.000 jenis serangga.  Keanekaragaman hayati di  Papua  masih lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, seperti di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara.  Dalam hal ini Papua menyumbangkan keanekaragaman hayati sekitar 30-50%
Dari segi keunikan dan keendemikan, Papua juga memiliki  ekosistem yang lengkap   mulai dari terumbu karang, hutan bakau, savana, hutan dataran rendah, pegunungan samapi ekosistem alpin (sekitar 5000 mdpl).  Dalam hal manfaat, keanekaragaman hayati ini mempunyai banyak manfaat diantaranya : Sebagai sumber makanan,  bahan obat-obatan, sumber devisa,  objek wisata dan juga objek penelitian.

Ancaman-Ancaman Potensial
Disamping kekayaan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, ternyata di Papua juga mendapatkan ancaman yang perlu untuk perhatikan diantaranya proyek besar dalam bidang infrastruktur, pertambangan (migas)  berpengaruh terhadap perusakan dan pemusnahan habitat alam juga kegiatan konversi hutan untuk transmigrasi dan perkebunan.  Introduksi spesies eksotik, eksploitir sumberdaya laut yang berlebihan dan yang tak kalah pentingnya adalah ancaman berupa perdagangan ilegal hidupan liar (illegal wildlife trade).  Dalam hal perdagangan satwa sudah ada peraturan yang mengaturnya.  Komitmen pemerintah cukup bagus yang telah meratifikasi Convention on International trade of Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), tentu saja dituntut untuk lebih proaktif mengamankan peredaran satwa liar serta sanksi hukum kepada para pelaku perdagangan ilegal.
 
Perdagangan Ilegal Hidupan Liar
Keberadaan kekayaan keanekaragaman hayati serta spesies endemik, khususnya satwa kadang menyebabkan adanya perburuan, penangkapan serta penjualan satwa.  Mulai dari sekedar hobi sampai pada pemenuhan kebutuhan ekonomi.  Transportasi yang disinyalir digunakan dalam penyelundupan satwa keluar Papua ini  melalui pelabuhan laut dan udara.   Kapal “putih” disinyalir merupakan tempat yang aman untuk lolosnya satwa, disamping itu juga melalui kapal “perintis”.
Pada 17 Agustus 1999, Balai KSDA Irian Jaya I menangkap 67  satwa yang terdiri dari  47 nuri merah kepala hitam (Lorius lory ), 6 kakatua jambul kuning (Cacatua galerita triton), 3 nuri daski (Pseudeus fuscata), 1 cenderawasih (Paradisea sp) dan perciki pelangi (Trichoglossus haematodus).
Di Manokwari sebanyak 150 ekor burung nuri berhasil lolos dari kawalan petugas keamanan dan didiga telah dibawa ke luar Papua dengan menggunakan kapal milik PT. Pelni.  Burung jenis nuri kepala hitan dibeli dari masyarakat seharga Rp. 25.000-30.000,- sedangkan kalau sudah sampai di kota/luar pulau dijual seharga Rp. 75.000-100.000,- dan pada tahun 2002 ini temukan lagi 14 ekor burung cenderawasih (Paradisea sp) dari sebuah kapal perintis “Marthen Indey” dari kawasan Mamberamo.
Jalur perdagangan di Manokwari ada di beberapa tempat diantaranya dari Prafi, sekitar daerah Wosi-Rendani, Bintuni dan di dalam kota Manokwari sendiri, sedangkan untuk tempat perdagangannya kurang begitu nampak seperti di pasar-pasar/petshop.   Jenis nuri dan kakatua selama dalam pemantauan pihak Sub KSDA sebagian besar berasal dari Bintuni yang dibeli dari masyarakat sebesar Rp. 25.000-30.000,-
Di Jayapura keberadaan burung yang diperdagangkan (nuri) dapat dilihat juga di pasar umum seperti di Pasar Hamadi yang berasal dari sekitar kota Jayapura dan Mamberamo dan disalah satu art shop, yaitu Dani Art juga di perdagangkan burung cenderawasih kuning dari Merauke yang telah dikeringkan/diopset dan pembuatan asesoris kepala menggunakan bulu burung cenderawasih, nuri/bayan dan juga bulu kasuari,  disamping itu juga telur kasuari dan anak buaya.
Kegiatan  yang pernah dilakukan oleh Tim Lantamal V Jayapura sebagai wujud kepedulian mereka yang  melakukan “sweeping” satwa di Kapal Teluk Sempit-515 merazia berhasil ditemukan tujuh ekor burung nuri.   Ini merupakan salah satu contoh keperdulian dari pihak keamanan terhadap pelestarian satwa dan tentunya perlu dicontoh oleh aparat lainnya.
Sedangkan perdagangan satwa asal Papua yang diperdagangkan di Jakarta/tempat lain diperkirakan dapat melebihi jumlah tersebut, juga dapat ditemukan beberapa burung nuri di Purwokerto, Purbalingga, Ajibarang dan Cilacap(Jawa Tengah).  Sudah barang tentu perlu adanya kerja sama semua pihak untuk monitoring agar dapat memutuskan rantai perdagangannya terutama di kota-kota besar.
 
Pelaku 
Yang menjadi pelaku ini biasanya dari pedagang satwa, masyarakat, oknum PNS/anggota TNI/Polri.  Latar belakangnya pun berbeda antara satu dengan yang lain , mulai dari sekedar hobi dan tuntutan kebutuhan ekonomi.  Disamping itu beberapa masyarakat juga memelihara satwa yang dilindungi, seperti contoh kasus  dr. John Manangsang.  Ia memelihara 8 cenderawasih, I jalak bali, 2 bayan merah, 1 kakatua raja, 2 rangkong, 1 kakatua putih, 2 elang, 4 mambruk, 1 mambruk emas, 1 burung kelapa, 2 kasuari, 1 kanguru pohon, 3 kanguru tanah, 1 buaya dan 1 kuskus.   Contoh lain dari hasil wawancara saat dilakukan investigasi ada beberapa “trik” dari si penjual burung itu yang mengatakan “pakai orang dalam saja Mas agar lebih mudah, misalnya kenalan pada orag polhut/aparat keamanan untuk memudahkan membawanya ke kapal”.
Kurangnya kesadaran dan juga sweeping dari petugas akan ikut mendorong meningkatnya perdagangan satwa dan banyaknya satwa asal Papua yang dibawa ke luar Papua apalagi jika sudah mengenal”sogok”.  Kitapun tidak dapat menutup mata bahwa ada masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya alam mereka di sekitar dan dalam hutan, misalnya menangkap burung dan dijual untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.  Jelas pula bahwa kita tidak dapat menghentikan mereka karena tututan ekonomi di areal hak ulayat mereka.
Dari anggota keamananpun juga tidak segan-segan untuk memelihara satwa, contoh kasus di Manokwari anggota keamanan nekat membawa burung yang berhasil di sita oleh Sub KSDA tragisnya lagi pihak keamanan tersebut malah mengancam padahal sudah tahu kalau salah, aneh bukan….?
 
Tindakan terhadap satwa sitaan
             Satwa yang berhasil ditangkap dalam sweeping di sebagian ada yang di masukkan dimasukkan di tempat karantina/penangkaran dan juga ada yang langsung di lepas di alam bebas.  Tempat karantina sementarapun keadaannya kurang terawat baik.  Kecenderungan satwa menjadi stress dan terjangkitnya wabah penyakit bahkan dapat mati karena kondisi yang kurang sesuai.  Sedangkan yang berupa ofset di masukan di tempat tersendiri.  Bukan tidak mungkin jika hasil sitaan satwa hidup dalam jumlah besar akan manjadi dilema tersendiri untuk mengkarantinakan.  Jelas membutuhkan lebih banyak luasan dan juga  pemeliharaan yang lebih baiK.
Penanganan hukum
             Usaha pemerintah untuk tangani masalah perdagangan satwa sebenarnya sudah mulai tampak, namun alasan tererbatasan sumberdaya pemerintah yang tidak mungkin melakukan kontrol perdagangan yang tersebar di berbagai daerah terlebih lagi asesibilitas yang rendah dan sulitnya medan.  Undang –undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya telah jelas mengungkapkan larangan untuk menangkap, menyimpan, mengeluarkan, merusak satwa yang dilindungi serta adanya sanksi bagi yang melanggar.
Sebenarnya upaya itu sudah dimulai sejak tahun 1998 dengan beberapa kasus yang diputus dipengadilan.  Sedikitnya sudah ada 5 kasus yang diputus pengadilan.  Kenyataan baik dalam tuntutan jaksa maupun putusan hakim hanya memuat pidana badan yakni dalam bentuk hukuman percobaan tanpa diikuti pidana denda.  Pejabat aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana lingkungan/konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya diantaranya adalah Polri.
Masih lemahnya law-enforcement akan berakibat semakin maraknya perdagangan satwa.  Kenyataan dilapangan menunjukkan masih ada sebagian besar anggota Polri/TNI yang memelihara berbagai jenis satwa.  Contoh kasus, pihak Sub KSDA Manokwari secara “berat hati”  melakukan pelepasan   sebanyak 35 ekor burung nuri dan 1 ekor kakatua yang sebelumnya disita dari seorang  pegawai PT Panca Duta   yang merupakan titipan dari 14 orang anggota Brimob Polda Jatim oleh petugas KSDA.  Burung tersebut berasal dari Bintuni.  Karena mendapat “tekanan/ancaman” dari anggota Brimob tersebut maka dibuatkan berita acara penyerahan satwa sitaan tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Siapa yang harus menindak mereka…?.  Hukum terkadang hanya dipandang sebagai formalitas belaka.

Permasalahan
Permasalahan yang timbul dengan masih banyaknya pelaku di Papua yang   memelihara satwa liar baik yang dilindungi dan tidak dilindungi   serta masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kekayaan biodiversity yang semestinya dimanfaatkan secara bijaksana dan berkelanjutan.  Jenis-jenis satwa yang terancam punah dan menjadi primadona orang Papua seperti cenderawasih semakin jarang dijumpai.
Disamping itu tempat penampungan satwa/tempat karantina yang kurang terjaga keberadaannya sering kali membuat satwa stress dan bahkan mungkin akan membuat mereka mati sehingga perlu untuk dipikirkan lebih serius.  Belum terbentuknya network yang kuat serta lemahnya law enforcement ditambah lagi kurangnya kampanye dalam pelestarian satwa menambah keberadaan satwa terancam.  Hal ini merupakan isu strategis yang perlu mendapat perhatian dan menentukan strategi kedepan dalam integrated action plan.
 
Pendekatan
Pendekatan yang diambil untuk mencoba mengurai kondisi saat ini adalah melalui external environment dan internal environment .  External environment dalam hal ini pihak luar yang ikut bertanggung jawab terhadap keberadaan lingkungan (sumberdaya alam) diantaranya KSDA, TNI/POLRI, Kejaksaan, Pengadilan, Dinas Kehutanan.  Peluang dan ancaman yang ditemui meliputi :
Peluang :
1.  Otonomi Khusus (UU No. 21 Th. 2001), dimana pihak daerah lebih proaktif untuk melakukan programnya di masing-masing dinas
2.   Terbukanya beberapa daerah terisolir, memudahkan penjangkauan dalam inventarisasi jenis
3.   Dibentuknya Polsus/Polhut dilapangan yang mendorong untuk lebih meningkatkan peran monitoring satwa.
Ancaman :
1.   Krisis ekonomi, moneter dan kepercayaan
2.   Penyalahgunaan wewenang dan law enforcement yang tidak jelas serta perhatian yang kurang pada pelanggaran terhadap sumberdaya alam.
3.   Keterlibatan oknum yang seharusnya  menindak pelanggaran terhadap sumberdaya alam bagi tegaknya law-enforcement.
4.   job discription yang tidak jelas antar instansi terkait, terkesan saing menunggu dan mengharapkan.
5.   tidak terkoordinasinya kegiatan antar lembaga pemerintah dan pemerintah dengan masyarakat
Peran media massa sangat penting untuk mendidik para pelajar/mahasiswa secara kontinyu memasukkan rubrik tentang sumberdya alam dan permasalahannya.
Membangun  sebuah network dalam memonitoring lalu lintas satwa, sehingga dapat dipantau sejauhmana keberadaan satwa dan merancang tindak untuk mengantisipasi semakin maraknya perdagangan satwa, baik ditingkat nasional , propinsi maupun kabupaten tentunya tidak hanya di Papua.
Perlu digaris bawahi jika network sudah terbina dengan baik maka permasalahan di Papua dapat terkontrol otomatis masalah yang ada Jawa dapat di minimalisir.  Yang mulai dikerjakan saat ini antara lain adalah pengumpulan informasi dari instansi terkait dan LSM yang bekerja dibidang konservasi, merancang  kerjasama monitoring dan ternyata semua itu mendapat respon yang cukup baik.
JENIS-JENIS SATWA YANG DILINDUNGI
MAMALIA 
No.
Nama Daerah
Familia
Nama dalam Bahasa Inggris
Species
1
Landak Irian, Nokdiak
Tachyglossidae
Spiny anteater
Zaglossus bruijni
2
Kanguru tanah
Macropodidae
Wallaby
Dorcopsia muelleri
3
Kanguru pohon
Macropodidae
Ornite Tree Kangaroo
Dendrolagus geodfellowi
4
Kanguru pohon
Macropodidae
Unicolored Tree Kangaroo
Dendrolagus doridianus
5
Kanguru pohon
Macropodidae
Dustry Tree Kangaroo
Dendrolagus ursinus
6
Kanguru pohon
Macropodidae
Grissled Tree Kangaroo
Dendrolagus inustus
7
Kanguru tanah
Macropodidae
--
Thylogale stigmatica
8
Kanguru tanah
Macropodidae
--
Thylogale bruijni
9
Kubung, Tando
Cynoephalidae
Flying lemur
Cynocephalus variegatus
10
Malu-malu
Lorisidae
Slow loris
Nicficebus coucang
11
Binatang hantu, Singapura
Tarsiidae
Tarsier
Tarsius bancanus
12
Orang Hutan, Mawas
Pongidae
Orang utan
Pongo pygmaeus
13
Jenis-jenis Owa tak berbuntut
Hylobatidae
Kloss Gibbon
Hylobates klosii
14
U n g k o
Hylobatidae
Darks handed Gibbon
Hylobates agilis
15
O w a
Hylobatidae
Silvery Gibbon
Hylobates moloch
16
Klampiau
Hylobatidae
Grey Gibbon
Hylobates muelleri
17
Sarudung
Hylobatidae
WHite handed Gibbon
Hylobates lar
18
Kahau
Cercopithecidae
Proboscis monkey
Nasalis larvatus
19
Monyet dije
Cercopithecidae
Crested Celebes macaue
Macaca nigra
20
Monyet buntung
Cercopithecidae
Buton macaue
Macaca brunnescens
21
Monyet dare
Cercopithecidae
Moor macague
Macaca maura
22
Monyet digo
Cercopithecidae
Tongkean macague
Macaca tongkeana
23
Bakkoi, Beruk Mentawai
Cercopithecidae
Mentawai pigtailed macague
Macaca pegensis
24
Jaya, Lutung Mentawai
Cercopithecidae
Mentawai langur
Presbytis potenziani
25
Lutung merah
Cercopithecidae
Maroon leaf monkey
Presbytis rubicunda
26
Rungka, Kedih
Cercopithecidae
Banded leaf monkey or Thomas
Presbytis thomasi
27
Lutung surili
Cercopithecidae
Javan leaf monkey
Presbytis aygula
28
Lutung dahi putih
--
White fronted leaf
--
29
Jiringan
Cercopithecidae
Monkey
Presbytis frontata
30
Simakobu
Cercopithecidae
Pigtailed langur, Snubnosed Monkey
Simias concolor
31
Trenggiling
Manidae
Scaly anteater, Pangolin
Manis javanica
32
Bajing tanah, Tupai tanah
Sciuridae
Treestriped ground aquirrel
Laricus insignis
33
Jelarang
Sciuridae
Black giant squirel
Ratufa bicolor
34
Cukbo, bajing terbang
Sciuridae
Spotted Flying Squirrel
Petaurista elegans
35
Bajing terbang ekor merah
Sciuridae
Red tailed flying
Lomye horsfiledii
36
Kelinci liar Sumatera
Leporidae
Sumatran Shorteared Rabbit
Nesolagus netscheri
37
Bajing tanah bergaris empat
Sciuridae
Fourstriped ground Squirrel
Laricus hosei
38
Kuskus
Phalangeridae
Phalanger
Phalanger maculatus
39
Kuskus
Phalangeridae
Common phalanger
Phalanger orientalis
40
Kuskus
Phalangeridae
Bear phalanger
Phalanger ursinus
41
Kuskus
Phalangeridae
Celebes phalanger
Phalanger celebensis
42
Kuskus
Phalangeridae
Black spotted
Phalanger atrimuculatus
43
Kuskus
Phalangeridae
Gray phalanger
Phalanger symotis
44
Landak
Hystricidae
Porcupine
Hystrix brachyura
45
Sigung, Toledu
Mustelidae
Stink Badger
Mydaus javanica
46
Pulusan
Mustelidae
Hognoser Badger
Aretonyx collaris
47
Beruang madu
Ursidae
Malayan Sun Bear
Helaratos malayanus
48
Musang air
Viverridae
Otter civet
Cynolagal bennetti
49
Musang congkok
Viverridae
Bonded linsang
Prionodon linsang
50
Musang Sulawesi
Viverridae
Celebes Plant Civet
Macregaligia mussehenbrocki
51
Bintarung
Viverridae
Binturong
Arctitis binturong
52
Harimau Jawa
Felidae
Javan tiger
Panthera tigris sondaica
53
Harimau Sumatera
Felidae
Sumatran tiger
Panthera tigris sumatrae
54
Macan Kumbang, Macan Tutul
Felidae
Leopard panther
Panthera pardus
55
Harimau dahan
Felidae
Clouded leopard
Neofelis nebulosa
56
Kucing hutan, Meong congkok
Felidae
Leopard cat
Felis benglensis
57
L u w a k
Felidae
Marble cat
Felis marmorata
58
Kucing merah
Felidae
Borncan by cat
Felis badia
59
Kucing emas
Felidae
Golden cat
Felis temminckii
60
Kucing dampak
Felidae
Flat headed cat
Felis planniceps
61
Kucing bakau
Felidae
Fishing cat
Felis viverrina
62
A j a k
Canidae
Asiatic wild dog
Cuon alpinus
63
G a j a h
Elephantidae
Asian elephant
Elephas maximus
64
Tapir, Cipan, Tanuk
Tapiridae
Malay tapir
Tapirus indicus
65
Badak Sumatera
Rhinocerotidae
Sumatran Rhino
Dicerorhinus sumatrensis
66
Babi rusa
Suidae
Babyrusa
Babyrousa babyrusa
67
Badak Jawa
Rhinocerotidae
Javan Rhino
Rhinoceros sondaicus
68
R u s a
Cervidae
Rusa/Timor deer
Cervus timorensis
69
S a m b a r
Cervidae
Sambar/swamp deer
Cervus unicolor
70
Rusa Bawean
Cervidae
Bawean deer, Kuhl's deer
Gyelaphis kuhlii (Cervus kuhlii)
71
Kijang
Cervidae
Barking deer
Muntiacus muntjak
72
Kancil, Napu, Pelanduk
Tragulidae
Smaller mouse deer large mouse deer
Tragulus javanicus, Tragulus napu
73
Banteng
Bovidae
Banteng
Bos javanicus
74
Anoa dataran rendah
Bovidae
Law land anoa
Bubalus depressicornis
75
Anoa pegunungan
Bovidae
High land anoa
Bubalus quarlesi
76
Kambing Sumatera
Bovidae
S e r r o w
Capricornis sumatrensis
77
Lumba-lumba timah
Stonidae
Plumboeus dolphin
Sotalia plombea
78
Lumba-lumba borneo
Stonidae
Indonesian white dolphin
Sotalia borneensis
79
Lumba-lumba Cina
Stonidae
Chinese white dolphin
Sotalia chinensis
80
Lumba-lumba gigi besar
Stonidae
Rough toothed dolpin
Steno bredanensis
81
Lumba-lumba Malaya
Stonidae
Malayas dolpin
Delphinus delphis, stenella malayan
82
Lumba-lumba delpis
Delphinidae
Common dolpin
Delphinus delphis
83
Lumba-lumba perut merah
Delphinidae
Red fellied dolpin
Delphinus roseirostris
84
Lumba-lumba trawadi
Delphinidae
Irrawady dolpin
Orcaella brevirostris
85
Lumba-lumba botol
Delphinidae
Bottle nose dolpin
Trusiops sp.
86
P e s u t
Delphinidae
Mahakam dolpin
Orcaella sp.
87
Lumba-lumba gromphus
Delphinidae
Bottle nosed gramphus
Gramphus griseus
88
Lumba-lumba pemangsa kecil
Delphinidae
Little killer dolphin
Peponocephala electra
89
Paus paruh angsa
Ziiphiidae
Guvier's whale
Ziphius cavirostris
90
Lumba-lumba tak bersirip punggung
Phocoenidae
Black finiess porpoise
Neophocaena phocancides
91
Paus biru
Balaenopteridae
Blue whale
Balaenoptera musculus
92
Paus bersirip
Balaenopteridae
Fin whale, Razorback
Balaenoptera physalus
93
Paus bongkok
Balaenopteridae
Humpback whale
Megaptera novaeangliae
94
D u y u n g
Dugongidae
Dugong
Dugong dugon
95
P a u s
Balaenopteridae
Whale's (all species)
Cetacea