1. Kondisi umum Kepulauan Derawan
Kepulauan Derawan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua. Secara geografis, Kepulauan Derawan terletak di semenanjung utara perairan laut Kabupaten Berau, yang terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Panjang, Pulau Samama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, dan Pulau Maratua, serta beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan Tababinga. Di Kepulauan Derawan terdapat beberapa ekosistem pesisir dan pulau kecil yang sangat penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Selain itu, banyak spesies yang dilindungi berada di Kepulauan Derawan seperti kima (Tridacna spp.), ketam kelapa (Birgus latro), duyung (Dugong dugon), dan merupakan rumah terbesar untuk Penyu hijau (Chelonia mydas) di Asia Tenggara. Kepulauan ini merupakan perlintasan dari tidak kurang dari 10 jenis mamalia laut dari jenis paus dan lumba-lumba (Wiryawan, 2005).
2. Keberadaan Penyu hijau di Kepulauan Derawan
Analisis terhadap jumlah penyu dilakukan berdasarkan data yang berasal dari sumber yang berbeda, yakni; data penyu tahun 1940-an dan tahun 1970-an dari Lindsay and Watson (1995), data penyu tahun 1993 dari Tomascik et al (1997), dan data penyu tahun 2002-2003 dari WWF-Indonesi.
Penurunan jumlah Penyu hijau cukup tinggi di gugus kepulauan Derawan. Dari data tahun 1940 hingga tahun 2003 terjadi penurunan hingga 191 ekor di Kepulauan Derawan. Namun jika hanya menganalisis data yang berasal dari WWF-Indonesia (Adnyana, 2005) diketahui bahwa penurunan populasi Penyu hijau di Kepulauan Derawan diperkirakan ± 2 ekor per bulan . Dari data tersebut juga diketahui bahwa di Kepulauan Derawan sebaran Penyu hijau tidak merata, jumlah penyu tertinggi berada di Pulau Sangalaki.
3. Penyu hijau
· - Deskripsi dan klasifikasi Penyu hijau (Chelonia mydas L).
Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai Penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Daging jenis penyu inilah yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia terutama di Bali. Mungkin karena orang memburu dagingnya maka penyu ini kadang-kadang pula disebut penyu daging (Anonim, 2010).
Klasifikasi Penyu hijau menurut Linnaeus adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Testudinata
Famili : Cheloniidae
Genus : Chelonia
Spesies : Chelonia mydas L. (Tanjung, 2001).
· - Morfologi Penyu hijau (Chelonia mydas L.)
Sesuai dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Ukuran penyu dewasa ini bisa mencapai kurang lebih sekitar 250 cm, meskipun rata-rata sekarang adalah 100 cm. Penyu hijau dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang. Berat Penyu hijau dapat mencapai 400 kg, namun di Asia Tenggara yang tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini. Penyu hijau di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur panas. Anak-anak Penyu hijau (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau yang berada di sekitar Teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali (Nuitja, 1992).
Perisai atau karapasnya berbentuk hati dengan tepi rata, jumlah keping kostal 4 pasang, berwarna hijau cokelat dengan bercak tua sampai hitam. Keping kostal ukuran lebarnya hampir dua kali di banding dengan lebar keping vertebral. Keping marginalnya relatif sempit. Kepalanya memiliki sepasang sisik prefrontal yang lebar dan mempunyai tepi yang berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi dengan sisik yang relatif berukuran sama, sehingga jari-jarinya tidak terlihat jelas (Ali, 2004).
Ciri morfologi Penyu hijau menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972) dalam (Tanjung dkk, 2001) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki depan yang besar.
· - Penyebaran dan Habitat Penyu hijau (Chelonia mydas L.)
Sebaran Penyu hijau terdapat di Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut Mediterania. Habitat Penyu hijau ini hidup di perairan tropis dan sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau juga diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas. Kemampuan migrasi Penyu hijau pada beberapa populasi dapat mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau memiliki siklus kehidupan yang panjang, namun tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004).
· - Tingkah Laku dan Kegiatan Bertelur Penyu hijau (Chelonia mydas L.)
Perilaku bertelur Penyu hijau umumnya sama dengan penyu-penyu lainnya. Penyu hijau menjadi primadona penangkar penyu, karena saat bertelurnya selalu tepat waktu, yaitu setiap 15 hari sekali, dengan melakukan 4 sampai 6 kali pendaratan untuk bertelur di waktu malam hari. Selain itu, Penyu hijau merupakan satwa yang unik, karena secara insting, merekan akan hidup dan kembali bertelur ke tempat dimana mereka ditetaskan. Sama halnya dengan penyu-penyu lain, Penyu hijau sangat peka terhadap getaran, kebisingan, lampu, dan berbagai aktivitas yang ditimbulkan oleh manusia. Gangguan-gangguan tersebut kerap kali menghantui penyu yang hendak bertelur (Ali, 2004).
Betina Penyu hijau berukuran besar dalam sekali bertelur dapat menghasilkan sampai 200 butir telur, sedangkan Penyu hijau yang berukuran sedang menghasilkan sekitar 60 butir dalam satu kali mendarat. Di perkirakan perkawinan terjadi setelah penyu betina bertelur dan kembali ke daerah habitat perkawinan (Ali, 2004).
Telur Penyu hijau ukuran diameternya sekitar 46 mm. Bentuk telur dari Penyu hijau ini berbentuk agak bulat, lembut dan cukup lentur. Tukik merupakan anak penyu yang baru menetas, biasanya berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Tukik Penyu hijau bersifat omnivora, makanannya adalah ikan kecil. Saat menginjak usia dewasa, jenis Penyu hijau ini beralih menjadi hewan herbivora, makanannya berupa alga, rumput laut, ganggang dan daun bakau. Tukik Penyu hijau sangat peka terhadap suhu lingkungan. Tukik dapat mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) jika tidak masuk ke dalam laut beberapa jam setelah menetas dan berhasil menembus permukaan tanah, utamanya jika temperatur udara cukup tinggi. Tukik dapat mati kepanasan pada suhu 37o C. perlu kita ketahui bahwa dari beberapa pengamatan para ahli, dari 1000 butir telur yang berhasil menetas menjadi tukik, hanya satu diantaranya yang berhasil bertahan hidup sampai dewasa (Ali, 2004).
· - Ancaman Populasi dan Kepunahan Penyu hijau (Chelonia mydas L.)
Penyebab penurunan populasi secara drastis yang dibenarkan oleh bahwa eksploitasi Penyu hijau tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan Penyu hijau . Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi. Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya, Penyu hijau paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan Penyu hijau yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (Anonim, 2010).
Indikasi kegagalan perlindungan Penyu hijau ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi Penyu hijau di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan Penyu hijau semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi Penyu hijau . Untuk penyelamatan Penyu hijau dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan Penyu hijau di masa mendatang. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:
a) Aspek ekologi
− Hilangnya kemampuan reproduksi populasi
Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies Penyu hijau .
− Kerusakan habitat
Penyu hijau adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding Penyu hijau yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi Penyu hijau yang berakibat ancaman kepunahan.
b) Aspek sosial
Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi Penyu hijau di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan Penyu hijau . Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat.
c) Aspek ekonomi
Penyu hijau merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis Penyu hijau tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi Penyu hijau yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan Penyu hijau ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.
d) Aspek budaya
Umumnya eksploitasi Penyu hijau sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan Penyu hijau di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat (Anonim, 2010).
DAFTAR REFERENSI:
Anonim. 2010. Rancangan Penanggulangan Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas).http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/.pdf. Diakses pada tanggal 11 November 2010, pukul 16.30 WITA. Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Selatan Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang Pelestarian Penyu Hijau : Tasikmalaya.
Nuitja, I.N.S., 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor (IPB): Bogor.
Tanjung, Yonatan, Suherman, Misnawati, Rostina. 2001. Studi Tingkah Laku Bertelur dan Keberhasilan Penetasan Secara Alamiah di Pulau Sangalaki Kecamatan Derawan Kabupaten Berau. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul: Samarinda.
Wiryawan, B., M.Khazali, & M.Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau,Kalimantan Timur, Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau Mitra Pesisir/CRMP II USAID, WWF dan TNC. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar