Senin, 10 Januari 2011

Metode Populasi Bekantan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    Latar Belakang
Indonesia merupakan Salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, bahkan oleh pakar dunia dikatakan sejajar dengan negara Brasil di benua Amerika dan Zaire di benua Afrika. Apabila ketiga negara disatukan maka jumlah keanekaragaman hayatinya lebih dari 50% dari kekayaan dunia. Keanekaragaman yang ada seperti satwa liar merupakan aset negara indonesia yang perlu dijaga dan dilestarikan karena merupakan salah satu mata rantai penting yang saling berkaitan antara ekosistem satu dengan ekosistem yang lain(Supriatna, 2000).
Satwa liar dapat juga diartikan binatang yang hidup liar di alam bebas tanpa campur tangan manusia. Dalam ekosistem alam satwa liar memiliki peranan yang sangat banyak, salah satunya adalah melestarikan hutan(Alikodra,1990). Contoh kecil  seperti jenis primata yang suka memakan buah-buahan berbiji yang termakan primata akan utuh kalau dikeluarkan kembali dalam bentuk kotorannya, jadi seperti persemaian alami yang paling baik. Biji yang disebarkan oleh primata itu akan tumbuh menjadi pohon baru. Oleh karena itu, sangatlah penting membiarkan satwa liar hidup di hutan(Fachrul, 2007).
Salah satu Satwa liar yang termasuk dalam golongan primata adalah Bekantan. Bekantan merupakan binatang siang(diurnal), yang selalu bersembunyi di dahan-dahan pohon. Mereka sering terlibat dalam kelompok yang amat besar dekat sungai, mereka diketahui pandai berenang dan sering-sering juga menyelam. Kerapkali ia melompat dari ketinggian kurang lebih 15 meter ke dalam sungai. Secara khas mereka malah meloncat dengan loncatan jauh dari pohon yang lebih tinggi ke pohon yang lebih rendah. Mereka bisa juga berayun-ayun dari dahan ke dahan dengan tangan pada jarak-jarak yang pendek (Carter, 1978).
Status konservasi bekantan yang endemik di Kalimantan termasuk satwa yang genting dan sangat rentan terhadap kepunahan (Supriatna, 2000). Yeager (1992) menyatakan Bekantan adalah salah satu satwa dengan populasi tertekan. Pesatnya pembangunan pertanian, pemukiman dan pembangunan di bidang kehutanan di Kalimantan terutama di kawasan konservasi begitu pesat. Pengangkutan transportasi melalui sungai akan mempercepat penyebaran penduduk. Penyebaran penduduk ini akan berdampak pada peningkatan pengusahaan hutan untuk areal pertanian dan pemukiman sedangkan peningkatan frekuensi lalu lintas sungai ini sendiri ternyata dapat menurunkan populasi dan komposisi kelompok bekantan yang berhabitat di hutan tepi sungai (Anonim, 2009a).
Populasi bekantan erat kaitannya dengan habitat bekantan itu sendiri karena bekantan dikenal mempunyai habitat yang khas yaitu terbatas pada tipe hutan rawa gambut, bakau dan sangat tergantung pada sungai. Di hutan bakau, tipe hutan yang disukai bekantan adalah tipe “riverine mangrove” dengan sungai yang cukup besar, dan ini menjadi acuan penting untuk usaha mengetahui populasi bekantan di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan di daerah aliran Sungai Kutai Lama Dalam, Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara(Anonim, 2009a).

1.2.    Rumusan Masalah
Bagaimanakah penyebaran populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di daerah aliran Sungai Kutai Lama Dalam, Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara?

1.3.    Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui penyebaran populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di daerah aliran Sungai Kutai Lama Dalam, Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara.

1.4.    Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Dinas Kehutanan dan instansi yang bergerak dalam bidang usaha pelestarian lingkungan hidup serta bermanfaat untuk mempertahankan jumlah populasi Bekantan (Nasalis larvatus) yang terdapat di suatu daerah tersebut. Hasil Penelitian  juga diharapkan menjadi inspirasi dan bahan informasi bagi peneliti selanjutnya serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Tinjauan Umum Bekantan (Nasalis larvatus)
Bekantan tersebar luas di hutan-hutan sekitar muara atau pinggiran sungai di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, Bekantan dapat ditemui di daerah hutan rawa, atau muara dan pinggiran sungai Pulau Kaget dan Pulau Laut. Di Kalimantan Barat satwa ini menempati daerah hutan bakau di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Palung, sedangkan di Kalimantan Tengah mudah dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting, atau di sekitar Sungai Mahakam. Selain itu, Bekantan Juga ditemukan di Taman Nasional Kutai serta hutan rawa gambut dan hutan bakau di pantai Kalimantan Timur. Dari kedua anak jenisbekantan, Nasalis larvatus larvatus mempunyai daerah sebaran yang relatif lebih luas, hampir seluruh Kalimantan, kecuali bagian timur laut, Serawak bagian tengah, dan Brunei. Sementara itu, penyebaran Nasalis larvatus orientalis hanya terbatas di timur laut Kalimantan (Supriatna, 2000).
Yasuma (1992), Bekantan (Nasalis larvatus) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan                : Animalia
Filum                     : Chordata
Kelas                     : Mammalia
Ordo                      : Primata
Famili                    : Cercopithecidae
Genus                    : Nasalis
Spesies                  : Nasalis larvatus

Seperti primata lainnya, hampir seluruh bagian tubuhnya ditutupi oleh rambut (bulu), kepala, leher, punggung dan bahunya berwarna coklat kekuning-kuningan sampai coklat kemerah-merahan, kadang-kadang coklat tua. Dada, perut dan ekor berwarna putih abu-abu dan putih kekuning-kuningan(Anonim, 2009b).                                                                          
Ciri-ciri utama yang membedakan bekantan dari kera lainnya adalah hidung panjang dan besar yang hanya ditemukan di spesies jantan. Fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh seleksi alam. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai monyet Belanda(Anonim, 2009b)
Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75cm dengan berat mencapai 24kg. Kera betina berukuran 60cm dengan berat 12kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar, sebagai hasil dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya. Selain buah-buahan dan biji-bijian, bekantan memakan aneka daun-daunan, yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna. Ini mengakibatkan efek samping yang membuat perut bekantan jadi membuncit(Anonim, 2009c)
Menurut Salter et al (1985) dalam Bismark (1995) Habitat bekantan sangat terbatas pada tipe hutan rawa gambut dan bakau dan sangat tergantung pada sungai, walaupun sebagian kecil ada yang hidup di hutan dipterocarpaceae dan hutan karangas namun masih berada di sekitar sungai, seperti di kompleks hutan Barito Ulu, Kalimantan Tengah. Di hutan bakau, tipe hutan yang disenangi bekantan adalah tipe “riverine mangrove” dengan sungai yang cukup besar. Adapun menurut Yeager (1989), kebutuhan hutan di tepi sungai bagi bekantan adalah untuk tempat bermalam dan juga untuk tempat berkomunikasi(Anonim, 2009a).
Bekantan memang pemilih benar dalam pencarian makanan. Yang disukai terutama buah dan daun muda pidada, sonneratia lanceolata yang tumbuh di hutan bakau sepanjang tepian sungai dekat pantai. Selain itu juga, mereka mengkonsumsi pucuk-pucuk dari pohon bakau tempat di mana ia sambil beristirahat dan bermain. Namun menurut Artikel yang ditulis oleh Bismark dalam Kehutanan Indonesia (1980) makanan yang dikonsumsi oleh bekantan terdiri dari buah-buahan, bunga, jenis paku-pakuan, cendawan, larva insekta dan rayap, sedangkan makanan yang paling disukai oleh bekantan dan dijadikan sebagai makanan utamanya adalah Gauna motleyana dan Eugenia spp. Jenis ini banyak tersebar di pinggiran sungai hingga jauh ke darat (Anonim, 2009a).

2.1    Tingkah Laku Bekantan
Ada tiga sifat dan sikap keseharian yang menjadi tolok ukur penelitian untuk mengetahui prilaku bekantan, diantaranya adalah prilaku makan, tidur dan sosialisasi. Bekantan makan di ujung-ujung cabang, duduk pada awak cabang atau ranting, salah satu tangannya dipergunakan untuk berpegang pada cabang atau ranting di bagian atas, sedangkan tangan yang lain untuk meraih makanan. Kalau berada pada posisi yang sulit, kedua tangan akan berfungsi untuk berpegang sedangkan makanan dapat diambil langsung dengan mulut. Teknik makan ini merupakan adaptasi terhadap sebaran makanan yang dibutuhkannya yaitu pucuk-pucuk daun yang umumnya berada pada ujung ranting dan Bekantan makan daun-daun muda dari pohon yang tumbuh di sekitar habitatnya(Anonim, 2009a).
Selain daun-daunan (pohon) bekantan juga memakan daun jenis paku-pakuan seperti Stenochlaena pelostris, Drynaria quercifolia dan Acrostichum aureum jenis cendawan, Stereu lobatum, bunga Avicienna alba dan Nypa fruticans. Untuk mendapatkan protein hewani, bekantan memakan larva insekta, rayap dan kepiting(Anonim, 2009a).
Bekantan lebih menyukai pohon dipinggir sungai untuk tempat tidurnya. Dalam satu pohon bisa dihuni oleh satu kelompok yang kira-kira berjumlah 4-12 ekor. Pembentukan jumlah individu dalam kelompok tersebut tergantung pula pada keadaan pohon seperti bentuk percabangan, tinggi pohon, kerimbunan pohon serta jarak antara pohon yang satu dengan yang lain. Dari hasil penelitiannya yang dilakukan di Taman Nasional Kutai pada tahun 1986, M. Bismark menyatakan bahwa pohon dengan diameter tajuk 11,5 meter dengan tinggi 20 m, dapat ditempati oleh satu kelompok bekantan berjumlah 12 ekor yang terdiri dari 2 dewasa, 3 remaja, 4 setengah remaja dan 4 bayi. Sedangkan pohon yang disukai kelompok bekantan untuk digunakan tempat tidur adalah pohon yang berada persis di samping sungai dari jenis pohon A. alba, R apiculata, R. mucronata, B sexangula, B.paruiflora dan atau X. granatum(Anonim, 2009a).

2.2    Data Penyebaran Populasi
Dari hasil riset para peneliti mengenai populasi bekantan di beberapa habitat seperti di Tanjung Puting, Taman Nasional Kutai, Gunung palung hingga Serawak dan Brunai, Yeager dan Blondal (1992), dalam Bismark (1995) menuangkan temuan para peneliti mengenai populasi bekantan yang di susun dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Diperkirakan kepadatan populasi bekantan adalah 16,128 Individu per km2 atau satu kelompok per km2 dan kelompok bekantan terbesar antara 2-3 km2 sungai (Yasuma,1986) Dari data yang diketahui di atas, dapat ditaksirkan bahwa populasi bekantan sampai akhir tahun 1995 adalah 114.000 Individu sedangkan yang berada di kawasan konservasi adalah sekitar 7.500 individu (Bismark, 1995). Pada tahun 1986, Mackinnon, menaksir populasi bekantan lebih dari 250.000 individu, 25.000 diantaranya berada di kawasan konservasi. Di Tanjung Puting diperkirakan terdapat 2000 individu bekantan dan total yang ada di kawasan konservasi di Kalimantan sekitar 5.000 Yeager dan Blondal (1992) dalam Bismark (1995). Jadi, bila membandingkan data hasil penelitian yang dilakukan Bismark pada tahun 1995 dengan hasil analisa Mackinnon pada tahun 1986 diperkirakan penurunan populasi bekantan dalam 10 tahun terakhir lebih dari 50%(Anonim, 2009a).

 
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu dimulai dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2009 bertempat di di daerah aliran Sungai Kutai Lama Dalam, Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara.

3.2    Parameter Penelitian
  1. Parameter utama : Posisi peneliti berada, Bekantan(objek) yang terlihat  serta sudut pandang dimana sudut yang terbentuk antara arah transek  dengan posisi Bekantan.
  2. Parameter penunjang : kondisi lingkungan (Cuaca), ketersediaan makanan, jarak pengamatan antara  peneliti dan objek

3.3    Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan cara observasi langsung terhadap hewan di lapangan (Nasalis larvatus). Untuk pengamatan penyebaran populasi, dihitung jumlah individu bekantan pada lokasi-lokasi yang sesuai dengan keadaan berkelompok.

3.3.1        Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Binokuler, Kamera, Kompas bidik, lembar isian data pengamatan penyebaran populasi, Jam tangan dan alat tulis, sedangkan bahan yang digunakan sebagai objek penelitian yaitu jumlah individu bekantan pada lokasi-lokasi yang sesuai dengan keadaan berkelompok di habitatnya.
3.3.2        Cara Kerja
Pengambilan data penyebaran populasi menggunakan metode Garis Transek yang biasanya digunakan untuk sensus primata. Garis transek merupakan suatu petak dimana seorang pencatat berjalan sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar yang dilihat baik jumlah maupun jaraknya dengan pencatat.
       Dibuat jalur transek memanjang denan arah timur-barat atau utara selatan dengan lebar kanan-kiri jalur masing-masing 50 meter atau lebih.
       Panjang setiap jalur 25 meter. Panjang keseluruhan jalur disesuaikan dengan kondisi lapangan.
       Masing-masing jalur diberi tanda dan diberi nomor (O1,  …On) untuk menandakan tiap-tiap 25 meternya.
       Penghitungan jarak pengamat dengan objek didasarkan pada jarak datarnya.
Pencatatan ini dilakukan selama 30 hari. Dengan dua kali pengamatan, pada pagi hari penyelusuran(pencatatan) pukul 05.45 WITA hingga pukul 07.45 WITA dan pada sore hari penyelusuran pukul 16.00 WITA hingga pukul 18.00 WITA.

3.1    Teknik Analisis Data
Analisis Kepadatan Populasi Bekantan meliputi : petugas mencatat jumlah individu,jarak jarak dari nol, jaraknya dengan petugas, umur dan jenis kelamin ke dalam lembar isian data pengamatan penyebaran populasi kemudain ditabulasikan dan dihitung.
Pendugaan populasi dilakukan dengan perhitungan langsung saat ada perjumpaan dengan primata. Jumlah individu terbesar yang ditemui dari seluruh rangkaian pengamatan diasumsikan sebagai jumlah individu yang mewakili satu kelompok, sedangkan apabila jumlah individu terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan
Perkiraan Populasi
a.  Metode King’s
Menggunakan rata-rata jarak dengan pencatat (D),   
P0 = A x Z
        2 x D
                         = 250 ekor     
b.  Metode Perpendicular Distance (Y)
Menggunakan rata-rata jarak dengan terdekat (Y),   
P0 = A x Z
                             2 x Y
                          = 469 ekor    
c. Faktor Konversi
Pada kenyataanya nilai Py akan lebih besar dibandingkan dengan PD sehingga diperlukan faktor konversi. Faktor konversi tersebut didapatkan dari persamaaan :
                   2D =   2Y 
                            sina
Gates (1969) dan Hayne (1949) dalam Lavieren (1982) mendapatkan bahwa rata-rata sudut yang terbentuk = 32,70. Berarti D = 1,85 Y (sin 32,70 = 0,54)
sehingga  PD =   PY
                        1,85
d. Metode Webb’s
Menggunakan sudut antara pengamat dan satwa yang terlihat (a) dan jarak antara pengamat dan satwa (D). Penghitungan rata-rata jarak terpendek (Y) yaitu :
Y = D sin a
P =             AZ
          2 X  D sin a
D sin a  =  S D  sin (S a)
                        Z            Z
  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2009 a, www.irwantoshut.com diakses tanggal 08 Mei 2009.

Anonim 2009 b, http://bebsic.bekantan.net/node/2 diakses tanggal 08 Mei 2009.

Anonim 2009 c, http://id.wikipedia.org/wiki/Bekantan diakses tanggal 08 Mei 2009

Arief, M. 2003. Mengenal Hewan Primata. PT. Remaja Rasdakarya: Bandung

Carter,V.1978. Mamalia Darat Indonesia. PT. Intermasa: Jakarta

Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara: Jakarta

Yasuma, S dan H.S. Alikodra.1992.Mammals of Bukit Soeharto Protection Forest. The Tropical Rain Forest Research Project: Samarinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar